Sabtu, 05 Agustus 2017

Rumah Adat Bali

Rumah adat satu ini adalah cerminan dari budaya Bali yang sarat akan nilai-nilai Hindu. Beragam keunikan dari sisi arsitekturnya maupun dari makna filosofis yang terkandung di dalamnya menjadikan rumah adat Bali ini begitu menarik untuk diketahui lebih detail. Nah, di artikel kali ini kami akan mengulas keunikan-keunikan dari rumah adat bernama Rumah Gapura Candi Bentar ini khusus untuk Anda.



1. Struktur Ruangan Rumah Nama Gapura Candi Bentar yang dimiliki rumah ini sebetulnya berasal dari desain gapura atau pintu masuknya yang diukir sedemikian rupa sehingga tampak seperti candi. Gapura ini berukuran cukup besar dan dibangun tanpa atap penghubung. Hanya ada 2 bangunan candi yang kembar saling berhadapan dan saling terpisah. Keduanya hanya dihubungkan oleh beberapa anak tangga dan pagar pintu yang biasanya dibuat dari besi. 

Melongok ke bagian dalam pagar tembok (panyengker), kita akan melihat bahwa rumah adat Bali ini memang sarat dengan nilai-nilai Hindu. Terdapat sebuah bangunan suci di depan rumah yang biasa digunakan untuk bersembahyang. Sama seperti gapura, bangunan tempat ibadah yang bernama Sanggah atau Pamerajan itu juga dipenuhi dengan ukiran dan ornamen-ornamen khas Bali beserta totem-totem pemujaan. Di tempat inilah sesaji diletakan para wanita setiap hari. 

Adanya tempat ibadah dalam desain rumah adat Bali merupakan bukti nyata kuatnya masyarakat Bali dalam memegang erat falsafah Asta Kosala Kosali. Falsafah ini mengatur hidup masyarakat Bali tentang hubunganya dengan Tuhan, hubungannya dengan manusia lain, dan hubungannya dengan alam.

Masuk ke bagian dalam rumah, kita akan melihat beberapa ruangan yang memiliki fungsinya masing-masing.

 Panginjeng Karang. Ruangan ini merupakan tempat untuk memuja yang menjaga pekarangan. 
Bale Manten. Ruangan ini merupakan tempat untuk tidur kepala keluarga, anak gadis dan tempat menyimpan barang-barang berharga. 
Bagian ini juga sering digunakan bagi pasangan yang baru menikah. 
Bale Gede atau Bale Adat. Ruangan ini merupakan tempat untuk upacara lingkaran hidup.
Bale Dauh. Ruangan ini merupakan tempat untuk bekerja, digelarnya pertemuan, dan tempat tidur anak laki-laki. Paon. Ruangan ini merupakan dapur yang digunakan sebagai tempat memasak Lumbung. Ruangan ini merupakan tempat untuk penyimpanan makanan pokok, seperti padi dan hasil bumi lainnya

2. Material Bangunan Secara umum, 

material yang digunakan untuk membangun rumah Gapura Candi Bentar tidak dapat disamaratakan karena pengaruh tingkat ekonomi dan strata sosial pemiliknya. Untuk masyarakat biasa, dinding rumah ini biasanya dibangun menggunakan speci yang dibuat dari tanah liat (popolan), sementara untuk golongan bangsawan biasanya dibangun menggunakan tumpukan bata. Adapun atapnya sendiri bisa dibuat dari genting tanah, alang-alang, ijuk, atau sejenisnya sesuai dengan kemampuan finansial pemilik rumah.
3. Nilai-Nilai Dalam Rumah Adat Bali 


Selain berfungsi sebagai ikon budaya dan tempat tinggal, rumah Gapura Candi Bentar nyatanya juga mengandung beragam nilai filosofis yang menggambarkan kearifan lokal budaya Masyarakat Bali. 

Rumah Adat Gorontalo

Nah, dikesempatan artikel kali ini kami akan mengulas kedua rumah adat Gorontalo tersebut secara lengkap mulai dari gaya arsitektur, struktur bangunan, fungsi, serta penjelasannya. Bagi Anda yang tertarik untuk memperoleh wawasan budaya tentang kedua rumah adat ini, silakan simak pembahasan berikut!




1. Rumah Adat Dolohupa.

Dalam bahasa Gorontalo, Doluhapa berarti “Mufakat”. Nama tersebut sesuai dengan fungsi rumah adat satu ini yang memang sering digunakan untuk bermusyawarah untuk mencapai mufakat dalam perkara adat di masa pemerintahan raja-raja Gorontalo di masa silam. Rumah Doluhapa juga digunakan sebagai tempat mengadili seseorang yang melakukan tindakan kejahatan.

Ada 3 hukum yang digunakan dalam pengadilan yang dilakukan di rumah adat Doluhupa, yaitu hukum pertahanan dan keamanan yang digunakan untuk mengadili prajurit atau bisa dikatakan pengadilan militer (Buwatulo Bala), hukum agama Islam (Buwatulo Syara), dan hukum adat (Buwatulo Adati). Dari segi desain arsitekturnya sendiri, rumah adat Gorontalo ini terbilang unik. 

Rumah adat ini memiliki struktur panggung dengan tiang atau pilar yang berukir sedemikian rupa sebagai hiasan. Atapnya dibuat dari jerami berkualitas yang dianyam, sementara bagian rumah lainnya seperti lantai, dinding, pagar, dan tangga terbuat dari bilah atau papan kayu.
Bagian dalam rumah adat Doluhupa tidak terbagi menjadi beberapa ruangan melainkan langsung berupa satu ruangan plong berukuran besar. Di masa sekarang, ruangan ini tidak lagi digunakan untuk mengadili seseorang. Ruangan ini beralih fungsi dan lebih sering digunakan sebagai tempat untuk melangsungkan upacara pernikahan adat, atau kegiatan adat lainnya. 

Ada satu bagian yang unik dari rumah adat Gorontalo ini. selain kita dapat menemukan adanya anjungan yang terletak di bagian depan rumah, kita juga dapat melihat adanya 2 tangga yang saling berhadapan secara simetris di bagian depan rumah sebagai jalan masuk. Tangga ini dalam bahasa Gorontalo disebut Tolitihu.

sumber : 
http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/10/rumah-adat-gorontalo-dolohupa-bandayo.html



Jumat, 04 Agustus 2017

Rumah Adat Jambi

Nah, di kesempatan artikel kali ini kami akan mengulas informasi tentang rumah adat Jambi tersebut mulai dari sejarah asal usul, gaya arsitektur, gambar, struktur, dan nilai-nilai filosofis yang terdapat di dalamnya. Bagi Anda yang ingin tahu bagaimana uniknya rumah bernama Panggung Kajang Leko ini, silakan simak pembahasan berikut!




1. Struktur Bangunan Rumah

Rumah Panggung Kajang Leko atau biasa disebut rumah Kajang Leko adalah sebuah desain hunian yang baru ditetapkan menjadi rumah adat Jambi setelah melalui proses pencarian yang panjang. Pada sekitar tahun 70 an, Pemerintah berencana membangun TMII dan mewajibkan setiap provinsi untuk mengirimkan desain ikon budayanya masing-masing. Gubernur Jambi pada masa itu kemudian berusaha mencari satu di antara banyak desain rumah adat yang ada di Jambi untuk ditetapkan sebagai ikon rumah adat Jambi. 

Pencarian yang dilakukan dengan sayembara bernama “Sepucuk Jambi Sembilan Lurah” ini kemudian menemukan rumah adat Kajang Leko sebagai rumah dengan desain tertua di Jambi. Rumah adat Kajang Leko sendiri adalah rumah berstruktur panggung yang dikonsep dari arsitektur Marga Batin. Rumah yang jika dilihat dari atas berbentuk persegi panjang dengan ukuran 12 x 9 meter ini, berdiri karena ditopang oleh 30 tiang berukuran besar yang terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang pelamban. 

Untuk bagian atap, konstruksi rumah adat Kajang Leko disebut memiliki keunikan tersendiri. Atapnya ini dinamai “Gajah Mabuk”, sesuai dengan nama pembuat desainnya. Bubungan atap Gajah Mabuk akan tampak seperti perahu dengan ujung atas yang melengkung. Lengkunan tersebut dinamakan potong jerambah atau lipat kajang. 

Sementara untuk bagian langit-langit, terdapat material yang bernama tebar layar. Tebar layar adalah semacam plafon yang memisahkan ruangan loteng dengan ruangan di bawahnya. Ruangan loteng sering digunakan sebagai ruang penyimpanan, oleh karenanya pada rumah adat ini terdapat tangga patetah yang digunakan untuk naik ke ruangan loteng.


2. Fungsi Rumah 

Adat Meski kini Rumah adat Kajang Leko lebih berperan sebagai identitas budaya Jambi di kancah nasional, namun sebetulnya sejak masa silam rumah adat Jambi ini ternyata juga berfungsi sebagai tempat tinggal masyarakatnya. Nah, untuk menunjang fungsinya sebagai tempat tinggal, rumah Kajang Leko ini pun dibagi menjadi beberapa ruangan dengan kegunaannya masing-masing. Ruangan-ruangan tersebut antara lain:
  1. Ruang pelamban. Ruangan ini terletak di kiri bangunan. Strukturnya khusus terbuat dari bambu belah yang sudah diawetkan dan disusun jarang agar air mudah mengalir. Sesuai namanya, ruang pelamban difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu yang datang tapi belum diijinkan masuk rumah.
  2. Ruang gaho. Ruangan ini juga terletak di sebelah kiri bangunan tapi dengan posisi memanjang. Ruang gaho berfungsi sebagai tempat menyimpan barang, persediaan makanan, sekaligus dapur. Pada ruangan ini kita dapat menemukan ukiran-ukiran motif ikan di dindingnya.
  3. Ruang masinding. Ruangan ini terletak di bagian depan rumah dan berfungsi sebagai tempat menggelar musyawarah atau untuk ritual kenduri. Karena fungsinya ini, ruang masiding berukuran cukup luas. Pada bagian dindingnya juga kita dapat menemukan ukiran dengan motif yang beragam seperti motif bungo tanjung di bagian depan masinding, motif tampuk manggis di atas pintu masuk, motif bungo jeruk di luar belandar atas pintu.
  4. Ruang tengah. Ruangan ini terletak di tengah-tengah rumah dan sebetulnya tidak terpisah dari ruang masinding. Saat kenduri, para wanita biasanya menempati ruangan ini.
  5. Ruang balik menalam atau ruang dalam. Ruangan ini dibagi menjadi beberapa kamar untuk ruang tidur anak gadis, ruang makan, dan ruang tidur orang tua. Para tamu tidak diijinkan untuk memasuki ruangan ini.
  6. Ruang balik malintang. Ruangan ini terletak di sebelah kanan rumah menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai ruangan ini dibuat lebih tinggi dari ruangan lainnya.
  7. Ruang bauman. Ruangan ini tidak berdinding dan tidak berlantai. Ia hanya dipergunakan untuk memasak pada waktu ada kenduri, atau kegiatan lainnya. 


    sumber : 
    http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/10/rumah-adat-jambi-kajang-leko-gambar-dan.html



Rumah Adat Aceh

Di kesempatan kali ini, kami akan mengulas informasi seputar rumah adat Aceh tersebut mulai dari sejarah, gaya arsitektur, gambar, struktur, dan nilai-nilai filosofis yang terdapat di dalamnya. Bagi Anda yang ingin tahu bagaimana uniknya rumah adat bernama Krong Bade ini, silakan simak pembahasan berikut!


1. Struktur Bangunan Rumah

 Rumah adat Krong Bade –atau juga biasa disebut Rumoh Aceh, adalah sebuah rumah dengan struktur panggung dengan tinggi tiang 2,5 sd 3 meter dari permukaan tanah. Keseluruhan rumah ini dibuat dari bahan kayu, kecuali atapnya yang terbuat dari bahan daun rumbia atau daun enau yang dianyam, serta lantainya yang dibuat dari bambu.


 Karena memiliki struktur panggung, pada rumah adat Aceh ini kita dapat menemukan ruang bawah. Ruang ini biasanya digunakan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan pangan, serta sebagai tempat para wanita untuk melakukan aktivitas, misalnya aktivitas menenun kain khas Aceh.


Untuk memasuki rumah, kita perlu meniti tangga di bagian depan rumah. 

Tangga tersebut biasanya memiliki jumlah anak tangga yang ganjil. Adapun setelah naik ke bagian atas, kita akan menemukan banyak sekali lukisan yang menempel di dinding-dinding rumah sebagai hiasan. Jumlah lukisan pada dinding luar rumah dapat menjadi simbol tingkat ekonomi pemiliknya.

2. Fungsi Rumah Adat


Selain memiliki fungsi sebagai identitas budaya, rumah Krong Bade juga memiliki fungsi praktis yaitu sebagai rumah tinggal masyarakat Aceh. Untuk menunjang fungsi praktisnya tersebut, rumah adat Aceh ini dibagi menjadi beberapa ruangan dengan kegunaannya masing-masing,

yaitu: Ruang Depan atau biasa disebut seuramoë keuë. Ruangan ini berfungsi sebagai ruang santai dan tempat berisirahat bagi seluruh anggota keluarga.

Ruangan ini juga digunakan sebagai tempat menerima tamu. Ruang Tengah atau biasa disebut seuramoë teungoh. Ruangan ini adalah ruang inti dari sebuah rumah adat Aceh (ruang inong) dan di tandai dengan lantai yang lebih tinggi dari ruang depan. Karena termasuk ruang inti, maka ruangan ini termasuk sangat privat. Para tamu yang datang tidak akan pernah diijinkan untuk memasukinya. 


Fungsi dari kamar-kamar yang terdapat di ruang tengah ini antara lain sebagai tempat tidur kepala keluarga, kamar anak, ruangan kamar pengantin, serta sebagai ruang pemandian mayat ketika ada anggota keluarga yang meninggal dunia. Ruang Belakang atau biasa disebut sebagai seurameo likot. 


Ruangan ini adalah ruangan yang berfungsi sebagai tempat makan, dapur, dan tempat bercengkrama bagi sesama anggota keluarga. Lantai ruangan ini biasanya lebih rendah dibanding lantai rangan tengah. Sama seperti ruang depan, ruang belakang juga tidak memiliki kamar-kamar.






3. Ciri Khas dan Nilai Filosofis

Ada beberapa ciri khas yang membedakan rumah Krong Bade dengan rumah adat Indonesia lainnya. Ciri khas rumah adat Aceh tersebut antara lain: 



  1. Memiliki gentong air di bagian depan untuk tempat membersihkan kaki mereka yang akan masuk rumah. Ciri ini memiliki filosofi bahwa setiap tamu yang datang harus memiliki niat baik.
  2. Strukturnya rumah panggung memiliki fungsi sebagai perlindungan anggota keluarga dari serangan binatang buas.
  3. Memiliki tangga yang anak tangganya berjumlah ganjil, merupakan simbol tentang sifat religius dari masyarakat suku Aceh.
  4. Terbuat dari bahan-bahan alam; merupakan simbol bahwa masyarakat suku Aceh memiliki kedekatan dengan alam.
  5. Memiliki banyak ukiran dan lukisan di dinding rumah; menandakan masyarakat Aceh adalah masyarakat yang sangat mencintai keindahan.
  6. Berbentuk persegi panjang dan membujur dari arah barat ke timur; menandakan masyarakat Aceh adalah masyarakat yang religius.


Rumah adat Aceh atau Rumoh Aceh tidak bisa dibangun secara sembarangan. Mengingat fungsinya yang begitu penting bagi kehidupan pemiliknya, beberapa aturan wajib ditaati oleh seseorang yang hendak membangun rumah adat Krong Bade ini. Aturan tersebut di antaranya upacara penentuan hari baik, mengadakan kenduri sebelum membangun, pemilihan bahan bangunan yang berkualitas, pengolahan bahan bangunan dengan presisi, finishing dengan pewarnaan, penambahan lukisan, dan pemberian ukiran, serta diakhiri dengan kenduri syukuran saat rumah akan ditempati pemiliknya.


sumber : http://adat-tradisional.blogspot.com/2016/10/rumah-adat-aceh-krong-bade-gambar-dan.html

Rumah Adat Sulawesi Tengah



Penjelasan rumah adat Banua oge atau Souraja yang berasal dari Palu Sulawesi Tengah. Rumah adat Sou raja dahulu berfungsi sebagai tempat tinggal para raja dan keluarga. Selain itu rumah adat tersebut juga sebagai pusat pemerintahan kerajaan. Pembangunan Sou Raja ini atas prakarsa Raja Yodjokodi pada sekitar abat 19 masehi.

Bangunan Banua Oge atau Sou Raja adalah bangunan panggung yang memakai konstruksi dari kayu dan dengan paduan arsitektur bugis dan kaili. Luas keseluruhan Banua Oge atau Sou Raja adalah 32x11,5 meter. Tiang pada bangunan induk berjumlah 28 buah dan bagian dapur 8 buah. Atapnya berbentuk piramide segitiga, bagian depan dan belakang atapnya ditutup dengan papan yang dihiasi dengan ukiran disebut panapiri dan pada ujung bubungan bagian depan dan belakang diletakkan mahkota berukir disebut bangko-bangko.

Bangunannya terdiri dari 4 bagian yaitu :

1. Gandaria (Serambi)
Ruangan yang berfungsi sebagai tempat ruang tunggu untuk tamu. Dibagian depan terletak anjungan sebagai tempat bertumpuhnya tanggah yang terdiri dari 9 anak tanggah dengan posisi saling berhadapan.

2. Lonta Karavana (Ruang Depan)
Bagian ruangan ini digunakan sebagai penjamuan atau penerimaan tamu untuk kaum laki-laki dalam pelaksanaan upacara adat. Fungsi lainnya yaitu digunakan sebagai tempat tidur para lelaki.

3. Lonta Tatangana (Ruang Tengah)
Pada bagian Ruangan tengah difungsikan sebagai tempat musyawarah Raja beserta para tokoh-tokoh adat dan di dalam ruangan ini terdapat dua kamar tidur untuk Raja.

4. Lonta Rarana (Ruang Belakang)
Ruangan ini digunakan sebagai tempat makan untuk Raja beserta keluarga. Diruangan ini juga terdapat kamar untuk wanita dan para anak gadis. Selain itu ruangan ini juga digunakan untuk menerima kerabat dekat.

Hiasan

Pada bangunan Souraja terdapat hiasan berupa kaligrafi huruf Arab tertampang pada jelusi-jelusi pintu atau jendela, atau ukiran pada dinding, loteng, dibagian lonta-karavana, pinggira cucuran atap, papanini, bangko-bangko dengan motif bunga-bungaan dan daun-daunan. Semua hiasan tersebut melambangkan kesuburan, kemuliaan, keramah-tamahan dan kesejahteraan bagi penghuninya.